Pada dirinya terdapat kemampuan dan
sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang da’i, ditambah lagi dengan
wajahnya yang tampan dan penampilannya yang menarik. Ia adalah duta
pertama yang diutus Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada
penduduk kota Madinah. Tatkala sampai di Madinah, ia singgah di rumah
As’ad bin Zurarah.
Sementara itu ada dua orang yang bernama
Sa’adz bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair, keduanya adalah pemimpm suku
Bam Abdil Asyhal dan penganut kepercayaan nenek moyang mereka.
Tatkala mendengar berita tentang Mush’ab
bin Umair radhiyallahu ‘anhu, Sa’ad berkata kepada Usaid, “Pergilah,
temui orang yang telah memasuki wilayah kita dan mengelabui masyarakat
kita yang lemah itu. Usir keduanya dan jangan sekali-kali diperbolehkan
mendatangi kaum kita. Kalau bukan karena keberadaan As’ad niscaya aku
sudah pergi mendatangi mereka dan tidak menyuruhmu. Seperti yang kamu
ketahui, ia (As’ad bin Zurarah) adalah anak bibiku.”
Usaid mengambil tombaknya lalu pergi
mendatangi keduanya. Tatkala As’ad mengetahui kedatangannya, ia berkata
kepada Mush’ab, “Dia adalah seorang pemimpin suku dan telah
mendatangimu, maka berlaku benar-lah kepada Allah.”
Mush’ab berkata, “Jika ia mau duduk, maka saya akan berbicara kepadanya.”
Usaid masuk dan langsung mendamprat
(pada saat itu masih dalam posisi berdiri), “Apa maksud kalian datang
kapada kami dan menipu orang-orang yang lemah? Tinggalkanlah kami, jika
kalian masih menyayangi nyawa kalian!”
Setelah selesai, Mush’ab berkata dengan
sangat halus, “Bagaimana jika Anda duduk terlebih dahulu dan
mendengarkan perkataan kami? Jika Anda suka maka ambilah, dan jika Anda
tidak suka maka tinggalkanlah,”
Usaid berkata, “Anda berlaku adil.”
Kemudian ia meletakkan tombaknya dan
duduk. Mush’ab lalu memberitahukan dan menjelaskan kepadanya tentang
Islam dan membacakan ayat-ayat Al Qur’an.
Keduanya mencentakan, “Demi Allah, kami
sudah nelihat pada wajahnya pancaran cahaya Islam, sebelumnya berkata
dengan wajah yang lebih ceria.”
Kemudian Usaid berkata, “Alangkah mdahnya ajaran-ajaran ini. Apa yang kalian perbuat tatkala hendak memasuki agama ini?”
Keduanya menjawab, “Mandilah dan bersihkan kedua pakaianmu. Kemudian ucapkanlah syahadat dan setelah itu dirikanlah shalat.”
Usaid kemudian bangkit untuk mandi dan
membersihkan pakaiannya, lalu mengucap syahadat dan dilanjutkan dengan
shalat dua rakaat. Kemudian ia berkata, “Ada seorang laki-laki, jika ia
masuk Islam maka seluruh kaumnya akan mengikutinya. Saya akan
menyuruhnya menghadap kalian. Orang itu bernama Sa’ad bin Mu’adz.”
Usaid mengambil tombaknya dan beranjak
pergi menemui Sa’ad dan kaumnya. Ketika menyaksikan kehadiran Usaid yang
telah berubah dan saat Usaid sudah berada di hadapan mereka, Sa’ad
bertanya, “Wahai Usaid, apa yang telah kamu perbuat?”
Usaid berkata, “Saya telah bertemu dan
berbicara dengan kedua orang itu dan ternyata mereka tidak membahayakan.
Saya juga telah mencegah mereka. Lalu mereka berkata, ‘Kami berbuat apa
yang Anda sukai.’ Saya telah mendengar berita bahwa Bani Haritsah telah
berangkat menuju rumah As’ad bin Zurarah. Untuk membunuhnya dengan tujuan menghinakan dirimu, karena mereka tahu bahwa As’ad adalah anak bibimu.”
Dengan marah Sa’ad mengambil tombak dan berkata, “Wahai Usaid, Demi Tuhan, kamu belum berbuat apa-apa.”
Kemudian ia keluar menuju rumah As’ad
bin Zurarah. Dan pada akhirnya apa yang terjadi pada Usaid terjadi pula
pada Sa’ad bin Mu’adz.
Demikianlah tatkala Usaid datang dengan
marah, Mush’ab justru menyambutnya dengan senyum dan ketenangan. Sikap
imlah yang dapat melunakkan hati sekeras apa pun. Mush’ab adalah da’i
yang membawa risalah yang amat agung dan suci. Oleh karena itu, dia
sangat mengerti akan sikap yang tepat pada saat yang tepat pula. ia
tidak terpengaruh dengan kemarahan Usaid, tetapi justru sebaliknya, ia
berperilaku dengan akhlak yang mulia.
Kemudian, Mush’ab berkata dengan
perkataan yang lemah lembut dan menggugah perasaan lawan bicaranya untuk
kembali kepada fitrah dan keadilan, “Bagaimana jika Anda duduk dan
mendengarkan perkataan saya? Jika Anda menyukai perkataan saya, maka
ambillah dan jika Anda tidak menyukai, maka kami akan menjauhkan apa
yang Anda benci itu dari diri Anda.”
Memang, tatkala menyampaikan da’wahnya, seorang da’i akan melihat dampak pada wajah mad’unya.
Setelah masuk Islam, ia (Usaid in
Hudhair) berubah dari mad’u menjadi seorang da’i. Lalu ia mencari cara
agar Sa’ad mau menemui dan mau mendengarkan perkataan Mush’ab
radhiyallahu ‘anhu seperti yang telah ia alami.
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Dikatakan juga bahwa belum sempurna juga
iman seseorang sebelum ia merasa bahagia jika hal yang ia sukai itu
terjadi juga pada saudaranya. Akhirnya Sa’ad pun masuk Islam disertai
katimnya, Bani Abdul Asyhal.
As’ad berkata kepada Mush’ab
radhiyallahu ‘anhu, tatkala melihat kedatangan Usaid, “Hai Mush’ab, ia
adalah pemimpin suku maka berlaku jujurlah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.”
Sungguh merupakan sebuah perkataan yang
akan tetap langgeng, sebuah senjata dan sumber kekuatan bagi seorang
da’i, “Berlaku jujurlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Seorang da’i harus berlaku ikhlas hanya
mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk tujuan-tujuan
selain Allah. Dengan ikhlas itulah Allah akan berkenan membukakan pmtu
hidayah-Nya. itulah makna syiar kita: “Allah adalah tujuan kami.”
Kisah yang terjadi pada Mush’ab
radhiyallahu ‘anhu bersama Usaid dan Sa’ad memberikan banyak pelajaran
yang berharga. Semua ini terjadi semata-mata atas hidayah (petunjuk)
Allah ‘Azzawajalla
Tidak ada komentar:
Posting Komentar