Cerita ini, ana baca di blognya eramuslim.com
sebuah kisah yang dapat kita jadikan acuan bagi kita semua..
Ketika Rasulullah berada di hadapan,Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepalaTahukah kalian apa yang terjelma?Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a)
Gua Tsur.
Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda
Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat,
betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di
atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki
mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah
memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya
ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua.
Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam
kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia
tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia
hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di
sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta
jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar
dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung
serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak
panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut,
Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk
bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan.
Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap
guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia
mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan
jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang
saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu
nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di
pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam
samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang dapat memesonakannya
selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua
pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang
ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah.
Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang
tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam
hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu
Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia
menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia
teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah
seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji
mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung
di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di
kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku
Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak
akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan
remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua.
Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja,
seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang
terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua
kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu
dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman
Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan
kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu
pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa
panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam.
Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya
menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar
menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga
dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu
Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air
matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya
mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya.
Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai
putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan”.
Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa meraih
pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah
pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha
suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera
menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti
manusia indah seperti mu. Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar
kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar
yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng
kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela,
dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama
yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah.
Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-Musthafa
menyemesta. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah
berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga
malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia
sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun
karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu
Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut,
mempunyai iman yang kokoh dan bijaksana. Kekokohan imannya terlihat
ketika Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang Ummi telah kembali
kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara
yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang
ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan
menggaungkan satu khutbah yang mahsyur “Ketahuilah, siapa yang menyembah
Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan sesiapa yang menyembah
Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam
dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk
terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat
menjabat khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan
berzakat. Tidak sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku
sebagi nabi, sang khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan
untuk mengajak mereka kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu
Bakar adalah lemah lembut, namun ketika kemungkaran berada
dihadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas
bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim.
Sebelum wafat, ia menetapkan Umar sebagai penggantinya. Jenazahnya
dikebumikan di sebelah manusia yang paling dicintainya, yaitu makam
Rasulullah. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya
manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk
surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia
mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar